SUMENEP DAN CERITA KETIKA HUJAN JATUH LAGI (Sebuah Asal Omong)
(Foto: doc. penulis) |
Akhirnya
hujan jatuh lagi. Meski hanya bernama gerimis, ia tetaplah hujan yang
dirindukan banyak orang di tanah ini. Saya sendiri bisa menghitung kalau langit
di tanah ini tak seperti kekasihmu yang akan cepat mengabulkan inginmu. Sejak
menginjakkan kaki di tanah ini, hujan rupanya baru tiga kali datang menghampiri
tanah garam ini. Itupun tidak ada yang berwujud hujan dalam arti sesungguhnya.
Ia hanya dibaptis dengan nama gerimis. Ya, gerimis lagi dan lagi. Lalu saya
teringat kalau gerimis ini datang setelah beberapa kegiatan besar berhasil
dilaksanakan di tanah ini, setidaknya dalam beberapa pekan terakhir. Gerimis
ini datang membawa kenangan dan cerita yang tidak ada salahnya kalau saya
refleksikan lebih jauh.
8
Oktober 2017 barangkali jadi hari yang menarik dan tak akan terlupakan bagi
banyak orang Sumenep karena orang nomor satu di republik ini melakukan
rangkaian kunjungannya. Saya bersyukur bisa juga menerima beberapa buku tulis
pemberian Pak Presiden (meski sebenarnya saya sendiri tak paham apakah saya
butuh buku tulis itu). Yang penting, saya menerima buku itu langsung dari orang
yang selama ini hanya saya lihat dari layar televisi. Banyak orang yang larut
dalam kebahagiaan karena bisa dikunjungi orang yang mereka kagumi. Saya turut
larut dalam kebahagiaan itu.
Bagi
saya yang seorang Katolik, dan datang ke tanah ini untuk menjalankan praktek
diakonat (sebuah tahapan bagi seorang calon imam untuk belajar menjadi pelayan
sesungguhnya), saya semakin bersyukur karena pada hari yang sama ini, Gereja
Katolik Sumenep boleh merayakan ulang tahunnya yang ke 80. Sebuah usia yang
tidak bisa dibilang muda lagi. Saya terkejut, rupanya Gereja Katolik Sumenep
mulai bertumbuh sejak delapan tahun sebelum Bung Karno memproklamirkan
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Itu berarti, kualitas hidup beriman
orang Katolik Sumenep mestinya tidak bisa diragukan lagi. Saya mengalami itu
karena dalam perayaan syukur tersebut, umat sangat antusias mengikuti segala
rangkaian kegiatan yang dirancang panitia sejak satu bulan sebelumnya. Perayaan
puncak yang jatuh pada hari yang sama dengan kedatangan Presiden ke Sumenep
tidak menjadi halangan bagi Bapa Uskup Malang untuk hadir dalam kegembiraan
umat Sumenep. Puji Tuhan, hari itu tak ada satu titik gerimis pun yang jatuh
sehingga semua acara berjalan sesuai rencana.
Kemeriahan
acara ulang tahun paroki yang ke 80 menjadi sebuah kenangan tersendiri.
Beberapa pekan sesudahnya perayaan itu diceritakan terus menerus sebagai sebuah
kenangan. Entah, kisah yang menyenangkan maupun juga yang tidak mengenakkan.
Betapa tidak, setiap kisah selalu punya dua sisi yang tidak terpisahkan; sisi
baik dan sisi agak buruk. Waktu yang berlalu, dengan semangat mewartakan Injil
kemudian menggerakan umat Katolik Sumenep untuk memberanikan diri mengikuti
pawai budaya dalam karnaval yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten
Sumenep. Dalam banyak tuturan disampaikan bahwa, ini untuk pertama kalinya
Gereja Sumenep menunjukkan diri di tengah keramaian untuk menegaskan bahwa di
tanah Sumenep, Gereja Katolik tidak bersembunyi dalam diam di Kampung Pabeaan.
Gereja Katolik mau tampil untuk mewartakan kabar baik, memberi kesaksian bahwa
seorang Katolik juga bisa memberi warna tersendiri dalam keberagaman hidup di
Sumenep.
Pagi
masih buta, ketika para peserta karnaval mempersiapkan diri dengan penuh
semangat. Ada beberapa yang bahkan tidak banyak beristirahat karena pada malam
sebelumnya harus melakukan perjalanan Surabaya-Sumenep. Saya kira, itu bukan
perjalanan yang mudah karena di beberapa titik terjadi perbaikan jembatan. Lagipula,
tidak ada penerbangan malam dari Surabaya ke Sumenep. Mereka menempuh
perjalanan darat yang melelahkan, tetapi karena kecintaan kepada Gereja Katolik
mereka lupa pada kelelahan itu. Mereka ingin menunjukkan penampilan maksimal
kepada seluruh masyarakat Sumenep. Ini bagi saya bukan sebuah keberanian yang
mengada-ada, atau sekedar keberanian yang dibangun hanya karena mereka ingin show di hadapan banyak orang. Ada refleksi
yang sungguh jauh dan mendalam yang mereka sendiri barangkali tidak sadari. Ada
gerakan Roh di bawah sadar mereka.
Para
peserta karnaval mempersiapkan diri sejak puluk 03.00 WIB. Saya kira itu bukan
sebuah waktu yang mudah bagi kebanyakan orang. Apalagi, tidak semua peserta
karnaval masih termasuk berusia muda. Ada beberapa umat yang semestinya memang
harus beristirahat di jam seperti itu. Tetapi sekali lagi, semangat cinta yang
luar biasa akan Gereja membuat mereka merelakan waktu istirahat mereka supaya
bisa mempersiapkan diri. Akhirnya, di bawah terik matahari yang sangat
menyengat – gerimis tak setitik pun yang jatuh ke tanah Sumenep – Romo Paroki
Sumenep bersama seluruh peserta pawai budaya dalam karnaval itu, melintas penuh
kegembiraan. Semboyan “Bersama Kita Bisa” menjadi payung yang mengusir teriknya
matahari siang di tangga 29 Oktober 2017 itu. Apalagi, Romo Paroki tampil
bersama empat orang muda yang mengenakan kostum dari Jember Fashion Carnaval,
sebuah carnaval yang sangat diakui oleh dunia internasional. Saya kira, beban kostum
yang tidak ringan itu, tidak terasa sama sekali oleh Romo dan beberapa anak
muda itu karena para penonton di kiri dan kanan jalan merasa sangat terpesona. Saya
kira itulah kabar baik yang bisa dibagikan.
Hujan
yang tadinya gerimis kini berubah menjadi lebih deras. Hari ini saya menulis
karena saya tahu bahwa Tuhan mengasihi Sumenep, Tuhan mengasihi segala yang
dilakukan. Dia mengakhiri terik yang sungguh membakar itu dengan hujan berkat. Hujan
mulai jatu ketika perayaan ekaristi masih berlangsung. Saya kira, Tuhan sudah
melihat beberapa pekan yang melelahkan, yang sudah dilalui oleh umat-Nya. Hujan
hari ini adalah berkat. Tuhan selalu lebih tahu bagaimana membuat kita bahagia.
Selalu dengan caranya, dan selalu tak bisa ditebak. Saya kira refleksi
sederhana ini mesti berakhir dulu di sini, supaya kita punya waktu untuk sejenak
membacanya kembali. BERKAH DALEM
Komentar
Posting Komentar