MESTIKAH GEMPA DIKENANG? MESTIKAH TSUNAMI DIINGAT?


gambar: www.nuamakara.com
     Beberapa waktu ini, saya mendapati teman-teman dan sahabat saya di komunitas Kahe sedang giat-giatnya mempersiapkan sebuah proyek besar (saya tak mau menyebut ini kecil mengingat kerja mereka yang luar biasa). Pertanyaan sederhana adalah, mestikah peristiwa itu dikenang? Mestikah peristiwa itu diingat? Ingatan dan kenangan adalah dua hal yang punya hubungan sangat karib. Lalu, haruskah itu dilakukan untuk sebuah peristiwa yang sungguh menyedihkan? Saya sendiri menjadi sangat takut kalau mengenang peristiwa itu. Saya berusia belum genap empat tahun (keesokan harinya mestinya saya didoakan dalam perayaan ekaristi sebagai syukur atas ulang tahun kelahiran yang ke empat) ketika gempa dan tsunami menghajar pulau kelahiran saya itu. Bertahun-tahun sesudahnya, saya selalu terbangun di tengah malam dan akan mengatakan, “saya takut Gunung Api meletus”. Waktu itu saya belum paham benar kalau gempa dan tsunami yang terjadi kala itu tidak ada hubungan dengan Gunung Egon atau Gunung Rokatenda. Atau mungkin juga berhubungan dengan itu? Entahlah. Saya tetap tidak pernah mempelajari itu lebih lanjut. Ketika Komunitas KAHE berniat menggarap karya besar untuk mengenang peristiwa dua puluh lima tahun silam itu, saya tertegun. Adakah kita perlu mengenang ketakutan? Itu pertanyaan pertama yang terlintas.  
     Hari itu, 12 Desember 1992. Saya tidak ingat jam berapa. Apa peduli saya dengan angka di jam dinding. Toh, saya bukan murid TK sehingga saya harus paham angka-angka sederhana di jam dinding itu. Itu benar-benar bukan urusan saya. Saya sedang bermain ogor ban – sebuah permainan yang sangat terkenal di kalangan anak-anak masa itu. Sebuah ban bekas (biasanya ban sepeda motor) digulingkan ke sana ke mari. Bahasa tulisan ini agak susah menjelaskan bagaimana cara memainkan permainan ini. Saya bermain dengan beberapa teman saya, dengan penuh kegembiraan. Di teras rumah, Ayah saya dan beberapa siswa SMPK San Carlos Habi yang tinggal bersama kami sedang bermain poker. Mereka juga penuh kegembiraan. Ibu saya sudah lelap di kamar. Saya kira, tidak ada suasana yang luar biasa ataupun keadaan yang tidak biasa. Semuanya biasa saja.
     Ketika semua sedang asyik dengan aktifitasnya masing-masing, tiba-tiba dunia seakan runtuh. Saya merasa digoncang dan dibanting ke sana ke mari. Untung saya masih bisa berdiri. Saya bingung. Apa yang sedang terjadi? Apakah kiamat? Suasana mencekam karena semua orang di kompleks rumah guru itu berhamburan ke luar. Saya melihat ibu juga sudah berlari meninggalkan rumah. Belakangan (jauh kemudian) barulah Ibu mengisahkan bahwa ia hampir saja terkena pecahan kaca karena mengira saya yang menggoncang tempat tidurnya saat gempa terjadi itu. Ia meraih saya dalam gendongannya lalu saya di-lawat (digendong dalam sarung). Ayah saya juga berlari mendekati kami. Seorang teman yang sedang bermain bersama saya tadi juga langsung digendong ayahnya. Rupanya goncangan sangat hebat dan itu membuat kami kesulitan bergerak. Saya terduduk sejenak bersama ibu yang menggendong saya, sedang ayah teman saya itu malah berpegangan pada sebuah pohon yang ada di dekatnya. Tetapi ia harus berusaha sekuat tenaga menahan getaran yang sangat kuat itu. Teman saya itu malah berteriak keras, “kita naik pesawat, kita naik pesawat...”. Saya kira teman saya itu salah. Tapi memang kami sesama anak kecil yang tidak paham apa yang terjadi.
     Kami lalu bergerak perlahan mencari ruang yang lebih luas, menghindari sesuatu yang lebih buruk terjadi. Kami menuju lapangan yang berada di dekat SMP San Carlos Habi. Lapangan yang tidak cukup luas tetapi mungkin aman untuk sementara. Rupanya di sana sudah banyak juga orang yang berkumpul. Mereka berteriak keras, “ami noran, ami noran...”, saya bingung. Mengapa mereka berteriak seperti itu? Teriakan semakin keras ketika gedung SMP San Carlos yang berlantai dua itu malah terlihat miring ke arah kami yang sedang duduk di lapangan itu. Saya hanya melihat wajah ketakutan. Tidak lama berselang, saya melihat adik ibu saya yang kebetulan seorang sopir, datang sambil berlari-lari bersama dengan beberapa orang lainnya. Mereka berteriak keras, “tahi lema, tahi lema...”. Sebuah mobil melaju kencang di hadapan kami. Saya heran, mobil itu ternyata kokoh berpijak dan tidak kesulitan bergerak meskipun getaran masih terasa. Teriakan tahi lema (air laut naik – mungkin waktu itu tidak ada yang tahu istilah tsunami) membuat semua kami langsung bergerak meningalkan lapangan itu. Kami harus menuju dataran yang lebih tinggi. Sepertinya kiamat memang sudah datang, begitu pikir saya dalam hati sambil menangis. Kami sempat beristirahat sejenak di Watubui sampai hari semakin beranjak sore.
     Saya tidak tahu pasti waktunya jam berapa, tetapi hari belum begitu sore ketika cerita-cerita semakin menakutkan tentang Maumere yang hancur mulai terdengar. Pada waktu itu, seorang siswa SMP San Carlos yang tinggal bersama keluarga kami rupanya sudah pulang ke kampung halamannya dan datang lagi bersama dengan ayahnya menjemput kami. Ketika saya sudah naik ke atas kuda yang menjadi tunggangan mereka untuk menjemput kami(waktu itu kami akan melalui jalan setapak yang tidak dilalui kendaraan bermotor), hujan turun dengan sangat derasnya. Keluarga kami mengungsi ke Blatat, dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Saya tak tahu pasti. Kami juga sempat tinggal di Wolokoli selama periode pemulihan gempa itu. Barangkali, keluarga kami mencari tempat yang termasuk dataran tinggi supaya setidaknya kami jauh dari jangkauan laut.  
     Saya tidak mengalami kehilangan yang cukup berarti dalam bencana itu. Tetapi ketakutan akan gempa itu terulang, selalu saja datang lagi dan lagi. Mungkin itu yang dinamakan trauma. Tetapi seiring berjalannya waktu saya mulai melupakan peristiwa itu. ada beberapa penggal kisah yang memang terus saya ingat, apalagi ketika kalender memasuki bulan Desember. Selalu ada ketakutan, gempa itu akan terulang lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Lalu, apa gunanya kenangan akan ketakutan itu dihadirkan kembali? Apakah masih perlu mengenang peristiwa menakutkan itu. Peristiwa itu menyedihkan tetapi bagi saya peristiwa itu juga menakutkan. Bertahun-tahun hampir pasti saya akan terbangun setiap tengah malam hanya karena takut ada bencana.
     KAHE ingin mengenang kembali peristiwa itu dalam sebuah bentuk refleksi yang lebih mendalam. Saya kira, ini adalah pilihan yang tepat untuk generasi yang tidak merasakan bencana itu secara langsung. Maksudnya adalah supaya mereka bisa merasakan juga bahwa ketakutan karena sebuah bencana bisa membekas sampai bertahun-tahun. Bahkan banyak yang kehilangan sanak saudara menjadi sangat terpukul dan tidak ingin mengenang lagi peristiwa itu. Ada banyak orang yang terseret arus lalu kemudian kehilangan nyawa mereka dengan cara tragis dan akhirnya menjadi santapan ikan-ikan di laut Flores. saya kira ketakutan mungkin perlu dikenang untuk menjadi pelajaran dan peringatan. Betapa tidak, alam ini selalu tidak bisa ditebak. Ia bisa saja murka dengan caranya kalau manusia tidak tahu diri memanfaatkannya hanya untuk kepuasan pribadinya. Saya kira, gempa dan tsunami perlu datang sekali supaya orang disadarkan untuk mengubah hidup yang semakin hari justru merusak dunia ini.
Mestikah gempa dikenang?
 Mestikah tsunami diingat?
TIDAK!!!
Mestikah gempa datang lagi?
Mestikah tsunami kembali lagi?
YA!!!
Supaya bisa kucium bibir pantai tanpa bayar,
Supaya bisa kupeluk pasir pantai tanpa bayar.... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KINI KAMI BERDOA DI ATAS TANAH INI (Sebuah asal omong)

SUMENEP DAN CERITA KETIKA HUJAN JATUH LAGI (Sebuah Asal Omong)

SEJENAK MENDOAKAN MEREKA YANG TERLUPAKAN (Sebuah catatan sederhana tentang para ODHA)