KINI KAMI BERDOA DI ATAS TANAH INI (Sebuah asal omong)
![]() |
foto: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10204192960261336&set=pcb.1556071994440639&type=3&theater |
Beberapa
waktu yang lalu, beberapa postingan menarik terlihat di media sosial facebook milik beberapa staf pendidik
Seminari Menengah Santa Maria Bunda Segala Bangsa. Perayaan ulang tahun ke lima
belas dirayakan dengan sangat meriah. Bahkan perayaan itu berlangsung di sebuah
kapel baru yang terlihat menawan. Sebuah kapel yang tentunya dibangun dengan
banyak bantuan dari banyak pihak. Saya yakin dan percaya semua mereka yang
membantu itu tidak sadar bahwa Tuhan menggerakan mereka untuk datang dan
membantu mewujudkan mimpi seminari yang masih remaja ini. Saya menulis ini, hanya
untuk mengungkapkan rasa rindu yang terdalam pada seminari yang pernah menjadi
rumah saya selama tiga tahun. Sebagai angkatan pertama, kiranya cerita dan asal
omong ini barangkali hanya ungkapan yang tidak bermakna. Tetapi saya kira,
tidak ada salahnya saya mencoba menulis beberapa kisah sederhana mengenang
perjalanan yang masih sangat belia ini.
Kapel
yang megah itu, sungguh membangkitkan kenangan yang sungguh tak terlupakan bagi
tiga angkatan pertama penghuni lembaga pendidikan ini. Hal tersebut bukan
karena kami yang bekerja keras sampai kapela itu bisa berdiri megah. Bagi kami
angkatan pertama secara khusus, kapela itu berdiri di atas tanah yang menyimpan
cerita tentang delapan seminaris (saya lupa jumlah yang pasti – mungkin bisa
dikoreksi oleh teman-teman seangkatan) yang menjadi geng motor. Saya kutipkan sedikit tulisan saya dalam sebuah
kumpulan kisah yang semoga bisa menjadi buku...
Suasana seminari benar-benar
lengang. Padahal ujian baru saja selesai kemarin. Biasanya suasana pasti riuh
ramai karena tak perlu lagi belajar. Hari
ini 12 Desember 2004, tepat 12 tahun gempa tektonik mengguncang Flores.
Sebuah peristiwa yang masih terus membekas di hati orang-orang Flores yang
mengalaminya. Tragis benar karena begitu banyak orang yang harus menjadi korban keganasan getaran 6,8 SR itu. Peristiwa yang benar-benar
menyedihkan dan memilukan karena banyak orang harus menangis meratap karena kehilangan segalanya; keluarga
dan segala harta benda. Bahkan ada yang hanya punya pakaian yang melekat di
badannya. Semua yang lain berantakan tanpa terselamatkan.
Hari ini seminari memang lengang tetapi bukan karena ingin
mengheningkan cipta atas peristiwa 12 tahun silam. Aku yang baru pulang pesiar
pun tak tahu apa yang sedang terjadi. Turun dari ojek aku menyapa Romo Datus
tetapi tanggapannya biasa sekali. Bahkan sepertinya dia sedang marah. Aku tidak
terlambat karena memang diperbolehkan pesiar sampai jam 14.00 jadi aku
melangkah santai masuk kamar. Tetapi masih ada tanya di atas kepalaku.
“ Whala kenapa lha ?” tanyaku kepada Lexi yang sedang
duduk santai bersama beberapa teman lainnya.
“Mereka
yang pergi Tanjung[1]
tadi kecelakaan,” sahut Lexi. Aku
langsung duduk bergabung dengan mereka. Kami hanya berbisik-bisik, takut jangan
sampai kami pun jadi korban kemarahan Romo.
“Siapa-siap saja?”
“Safrin Gebo, Ardy, Edo, As Kasa, Desno, Yovan Balu, ditambah
Selis dan Vian Fernandes,” sahut
Ariston.
Hening.
“Mereka semua celaka ka?” tanyaku lagi.
“Hanya yang satu motor dengan As Kasa,” jawab Lexi ,” ada tiga orang; As, Ardy dengan
Selis. Pertama Ardy yang bawa itu motor kemudian kasih As yang bawa. Pas
dia bawa itu baru mereka celaka.”
“Tapi mereka tidak apa-apa to?” tanya Chin Manti yang
baru saja duduk bergabung dengan kami.
“Selis tadi sudah di sini. Dia jalan kaki saja dari
Patesomba, tempat kecelakaan itu. Dia juga luka semua tapi tidak separah As. As
dengan Ardi dan yang lain sekarang ada di rumah sakit. As tadi sempat tidak
sadarkan diri. Untunglah ada banyak orang sehingga dia cepat dibantu,” Lexi
kembali menjelaskan. Memang dia tidak ikut tetapi pasti dia telah mendengar
cerita dari Selis. Lexi memang jarang sekali pesiar pada hari Minggu.
“Bagaimana sampai celaka?
Mereka tabrak atau bagaimana?” kembali aku bertanya.
“Begini. As bawa
motor kecepatan tinggi. Di satu tempat ada satu bemo berhenti. Dia mau lambung
tapi pas baru mulai lambung dari
depan muncul oto[2] sehingga As langsung keluar ke kanan.
Motor keluar dari badan jalan. Saat dia
mau naik kembali ke jalan, badan jalan posisinya lebih tinggi dari tanah di
luar jalan itu sehingga terjadilah kecelakaan itu.”
Hening.
Semua
tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Semua mencoba membayangkan apa yang dituturkan Lexi.
Benar-benar kejadian yang memilukan. Kejadian tragis yang membuat aku pun
menjadi cemas. Aku khawatir jangan sampai kemungkinan terburuk menimpa As. Mudah-mudahan dia tetap selamat tetapi aku
meragukan akankah Romo Datus memaafkannya dan membiarkan di tetap menjadi
seminaris di sini. Terlalu besar pelanggaran yang dibuat ini.
“Mereka sudah datang,”
ujar seorang adik kelas kami yang duduk-duduk di atas tempat tidurnya.
Kebetulan tempat tidurnya dekat jendela. Kami langsung bergegas mengintip dari
balik jendela.
* *
* *
Tujuh pribadi itu melangkah dalam ketakutan. Merekalah yang kemudian dijuluki “gang motor seminari”. Bahkan salah satu dari
mereka kemudian dipanggil mo’at[3] Tanjung.
Romo Datus yang duduk di depan dapur
masih duduk dengan menahan marah. Marah berpadu dengan kecewa karena tingkah
laku anak-anaknya yang kurang beres ini.
“Selamat siang Romo,” sapa mereka bertujuh. Masih dalam ketakutan.
Mereka melangkah perlahan.
“Selamat siang, Bapa-bapa,” sahut Romo Datus lalu langsung
bangun dan menanggalkan jam tangannya dan mulai menampar mereka satu per satu,” kalian semua memang kurang ajar. Tidak bisa
menjaga kepercayaan!”
Romo Datus marah, menampar dengan keras. Setelah beberapa
orang dia berhenti sejenak karena terlalu gemetar. Nyaris seperti shock. Mungkin juga tangannya terlalu
lelah untuk menampar. Dia berbalik.
“ Frater, atur dulu. Saya tidak bisa lagi ,” ujar Romo Datus.
Frater Efraim langsung bangun dari duduknya dan menghajar mereka yang lain.
Desno hampir saja terjungkal ke dalam got yang tak jauh dari tempat mereka
berdiri. Mata-mata yang mengintip dari balik tembok terlihat juga ketakutan.
Apalagi saat Desno hampir terjatuh ke got di sampingnya. Benar-benar
menakutkan.
“Orang sudah beri kamu kesempatan pesiar bukan berarti kalian
seenaknya. Kalau seandainya ada yang mati, siapa yang bertanggung jawab? Saya ini.
Datus Du’u yang bertanggung jawab,” Romo Datus masih berbicara. Sekarang sudah
lebih pelan dari sebelumnya.
Hening.
Semua mereka tertunduk. Menyesal sekaligus malu.
“Saya benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Kalian merusak
kepercayaan saya. Atau kamu semua sudah bosan tinggal di sini? Mau keluar dari sini?” tanya Romo Datus.
Hening.
Tak ada yang berani menyahut. Bahkan sekadar mengangkat
kepala saja tak ada yang berani.
“Desno! Dengar tidak?
Kau mau pulang atau masih mau di sini?” Romo Datus kembali
mencecer,” Edo! Kau baru masuk juga sudah aneh-aneh. Mau
keluar ?”
Masih tak
ada sahutan.
“Ayo jawab! Mau keluar
dari sini atau masih mau lanjut terus jadi seminaris?”
“Masih, Romo “ sahut ketujuhnya dengan suara teramat pelan.
“Ulang ?!”
“Masih mau lanjut, Romo “ Safrin bersuara.
“Semuanya masih mau lanjut?” tanya Romo Datus kembali.
“Iya, Romo,” serentak mereka menyahut.
Hening.
Romo Datus
terdiam. Wajahnya mulai melunak.
“Kalian semua sudah makan belum?” tanya Romo Datus.
Mereka
menggeleng perlahan.
“Silakan makan dulu!
Kemudian istirahat!”
“Terimakasih, Romo,”
dengan langkah perlahan mereka semua berlalu. Ardy masih berbicara
dengan Romo Datus. Tak ada yang tahu apa yang dibicarakan. Satu yang jelas
bahwa Romo Datus berbicara sesuatu yang penting. Sungguh penting apalagi Ardy
juga sedikit luka-luka karena harus menyelamatkan As. Seandainya tidak ada Ardy,
pasti As akan mengalami hal yang lebih buruk.........
Saya
kira, beberapa sahabat saya masih mengingat dengan baik kisah ini. Setelah
kejadian siang itu, mereka semua diberi sanksi mengerjakan taman di halaman
tengah seminari. Mereka mencangkuli tanah yang sangat keras itu, mempersiapkan
tanah dengan pupuk, lalu menanam rumput di atas tanah itu bersama dengan
beberapa bunga yang membuat halaman tengah menjadi berbeda dari yang biasa
selama ini. Halamang tengah menjadi indah, dan saya sungguh sangat yakin bahwa
Romo Datus bangga akan hal itu karena mereka yang diberi hukuman tersebut
merawat halaman tengah itu dengan sangat luar biasa.
Beberapa
tahun berlalu, saya kemudian melihat bahwa ternyata taman di halaman tengah itu
dibongkar karena akan dibangun kapela. Kapela sebelumnya yang terletak di dekat
ruang makan (kapela ini juga melibatkan kami dalam pengerjaannya), ternyata
tidak lagi mampu menampung seminaris yang jumlahnya tak seperti dulu lagi. Jumlah
seminaris terus bertambah, dan mereka butuh tempat berdoa yang lebih luas. Setidaknya,
tempat berdoa yang lebih layak. Jadilah, kapela yang baru harus dibangun di
atas taman yang menyimpan kisah pertobatan para sahabat saya itu.
Saya
yakin, beberapa sahabat barangkali kecewa karena kalau mereka datang mereka
tidak lagi menemukan taman yang langsung bisa menjadi cerita berharga tentang
peristiwa kecelakaan bertahun-tahun silam itu. Saya yakin mereka tak bisa
menceritakan itu kepada anak-istri mereka (karena semua yang terlibat dalam
peristiwa itu sudah memilih jalan menjadi awam). Tetapi, satu hal yang kemudian
membuat saya hanya bisa terdiam dan merenung yakni bahwa mereka pasti akan
bangga karena mereka akan menceritakan itu dalam doa-doa mereka di sebuah kapel
megah yang luar biasa. Kisah mereka akan berubah menjadi sebuah kisah yang
berbeda karena taman itu kini sudah menjelma rumah doa bagi para seminaris. Mungkin
mereka tidak lagi melihat rumput dan bunga yang mereka tanam, tetapi doa-doa
para seminaris justru diucapkan, didaraskan, dinyanyikan di atas tanah tempat
mereka harus menjalani hukuman karena kesalahan itu.
Saya
kira saya tak bisa menulis lebih panjang lagi. Maafkan saya jika seandainya
tulisan ini tidak membawa makna apapun. Saya menulis ini persis ketika beberapa
pekan lagi seminari ini akan melihat salah satu anak pertamanya akan
ditahbiskan menjadi imam. Seminari ini telah mengajarkan kami untuk bersyukur
dalam banyak hal. Selamat berdoa para seminaris, di atas tanah itu pernah kami
tanam kesalahan yang kemudian membuat kami belajar bertobat!!! Tabe__
Mantap...
BalasHapus