PEREMPUAN YANG MENJUAL HATINYA

Sumber gambar: https://hellosehat.com/


“...yang saya butuh itu rindu,
Bukan kamu...”

            Saya seorang perempuan. Orang memanggil saya Sheila. Singkat. Hanya itu saja nama yang diberikan orangtua saya ketika mereka tahu saya adalah seorang anak perempuan. Saya juga tak pernah mempersoalkan nama yang terlalu singkat itu karena semua itu tidak penting sama sekali. Lagipula, nama yang singkat ini memudahkan saya untuk bermacam-macam urusan. Bahkan, ketika akan mengikuti Ujian Nasional, saya tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk mengisi biodata. Sampai sekarang pun saya tetap bersyukur dengan nama pemberian kedua orangtua saya ini karena selalu membawa berkat untuk saya. 
            Hari ini saya masih di sini. Duduk dalam kesendirian yang sama seperti hari-hari yang sudah berlalu. Sudah sejak lima tahun lalu, saya belajar untuk mulai menjalani hidup dalam kesendirian; hanya ditemani seorang anak kecil yang tak bisa melakukan banyak hal seperti anak-anak lainnya. Ia seorang anak yang hanya bisa diam tanpa mampu berkata apapun. Dia seorang anak yang bahkan di usianya yang sudah menjelang enam tahun ini hanya bisa menggumam tak jelas. Saya sendiri tak paham mengapa harus mengalami semua ini. Tapi dalam kesendirian ini saya selalu bersyukur bahwa setidaknya saya masih cukup kuat untuk bertahan.
            Anak kecil – yang saya panggil Grace – ini adalah kekuatan yang membuat saya bisa tersenyum setelah kelelahan menangisi kesendirian saya selama ini. Saya tak bisa menyangkal bahwa seringkali kerinduan pada lelaki itu membuat saya merasa teramat sakit. Ia adalah kenangan yang menyakitkan. Seringkali saya merasa ingin membunuhnya. Sayang sekali, ia pergi sebelum air mata kesedihan saya berubah menjelma kebencian dan keinginan membunuh. Hampir setahun lebih saya menangisi rasa sakit yang ditingalkan lelaki itu. Selama itu pula, Grace tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang baik dari seorang ibu.
            “Saya tidak bisa menjadikanmu istri, Sheila,” ujar lelaki itu. Saya tak ingin menyebut namanya lagi, “Ibu tak ingin punya cucu dengan kondisi seperti itu.”
            Saya hanya bisa diam mendengar kata-katanya itu.
            “Lalu?” saya bertanya putus asa, “kamu ingin meninggalkan saya dan anak ini begitu saja?”
            “Saya bukan meninggalkanmu,” lelaki itu kembali berkata perlahan sambil meraih tangan saya ke dalam genggamannya, “saya hanya  perlu waktu untuk membuat Ibu tahu kalau saya menyayangimu dan anak ini.”
            Saya hanya bisa menangis dan menyuruhnya pergi meninggalkan ruangan tempat saya dirawat. Saya menangis dalam sendiri sambil memeluk Grace yang hanya menggumam tak jelas karena ia tak paham apa yang terjadi. Sejak itu, saya tak pernah lagi berhubungan dengan lelaki itu. Saya yang memperjuangkan hubungan ini supaya direstui kedua orangtua saya, malah harus menerima kenyataan bahwa ia tak berani berjuang demi saya. Saya mulai lelah menangisi semua kesedihan itu ketika suatu waktu saya menerima sebuah pesan pendek, “Sheila, maafkan saya yang lama tak mengirim kabar. Saya menyerah. Ibu tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa saya mencintaimu. Saya akan menikah dengan wanita pilihan Ibu. Tapi satu yang kamu harus tahu, saya tetap akan merindukanmu, Sheila.”  
            “Mamamamamammm,,,,” suara Grace mengejutkan saya. Ia memanggil saya dengan panggilan yang seperti itu. Saya bangun dari duduk dan memeluknya. Ia lalu diam. Seperti biasa. Memandangi saya dengan tatapan yang selalu tak bisa dijelaskan maksudnya. Ia punya cara sendiri untuk membuat saya melupakan kenangan menyedihkan tentang lelaki itu. Bertahun-tahun ia membuat saya bertahan. Ia juga sudah membuat saya lupa kapan terakhir kali saya menangis.
            “Sayang, tenang yah,”ujar saya sambil membelai rambut indahnya, “Mama sudah mendapat kabar tentang seseorang yang bersedia membayar untuk separuh hati Mama. Setidaknya, itu bisa membiayai operasi jantungmu itu.”
            Ia hanya memandang dalam diam kepada saya. Saya juga memandangi matanya dalam diam. Saya tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Dokter mengatakan kalau Grace ternyata mengalami kelainan jantung dan harus segera ditangani dokter ahli yang tidak murah biayanya. Saya tahu, saya harus melakukan yang terbaik supaya Grace bisa terus bertahan. Dia sudah membuat saya lupa cara melupakan kesedihan. Saya juga seharusnya membuat ia tahu bahwa hidup itu sebuah kebahagiaan meski ia tak seperti anak-anak kebanyakan.
            Beberapa bulan yang lalu saya ditawarkan untuk mendonorkan separuh hati saya untuk seseorang yang membutuhkannya. Dokter yang merawat Grace ternyata tahu kesulitan yang sedang saya alami. Ia menawarkan saya menjadi pendonor untuk seorang kerabatnya dengan bayaran yang tidak sedikit. Bayaran itu bisa membuat saya melunasi seluruh biaya operasi Grace nantinya. Saya tahu bahwa resiko yang menyertai pendonor hati juga tidak sederhana, tetapi saya membutuhkan uang untuk kesembuhan Grace.
            Grace memeluk saya erat, seolah tahu bahwa hari ini saya akan menjalani operasi donor hati. Saya sudah menghubungi tetangga saya untuk menjadi pengasuh Grace selama beberapa pekan, sampai saya agak pulih untuk bisa kembali beraktifitas seperti biasa. Semoga saja semuanya berjalan dengan baik. Saya tidak ingin kehilangan Grace. Sudah cukup saya menangisi kepergian orang yang menyakiti saya. Saya tidak ingin menangisi kepergian seorang yang selama ini membuat saya kuat berjalan sebagai seorang Sheila. Saya meninggalkan rumah, sambil menggendong Grace dan membawa serta tas berisi beberapa perlengkapan saya di rumah sakit nanti. Saya menuju rumah tetangga saya.  
            “Bu, saya titip Grace. Semoga dia tidak merepotkan,” saya menyerahkan Grace kepada tetangga terdekat saya. Ia juga seorang wanita yang hidup sendirian selama ini karena suaminya sudah meninggal dunia.  Ia menerima Grace dengan senyum cerah. Saya tahu, Grace akan bahagia bersamanya untuk beberapa waktu ini.

            Saya masih terbaring di sini. seminggu berlalu dan dokter meminta saya untuk tetap bertahan di sini. Saya merindukan Grace. Saya merindukan suara gumamnya itu. Gumam yang membangunkan saya setiap hari. Grace memang selalu bangun lebih cepat setiap pagi. Entah mengapa saya ingin sekali memeluknya pagi ini setelah seminggu berlalu tanpa sekedar mencium wangi tubuh gadis kecil kesayangan saya itu. Saya hanya bisa diam. Lalu saya terkejut ketika terdengar pintu kamar saya dibuka. Ternyata Grace datang bersama tetangga saya.
            Grace begitu bahagia. Saya menangkap itu dari matanya yang berkaca-kaca haru memandangi saya. Saya ikut menangis memandangi dia. Saya terdiam dan memeluknya.
            “Bagaimana kabarnya, Sayang?” saya berujar sambil membelai rambutnya lembut.
 “Terima kasih, Bu, sudah merawat Grace seminggu ini,” saya berujar kepada tetangga saya. Ia hanya mengangguk lalu duduk di samping tempat tidur. Grace tak lagi mau turun dari pelukan saya. Saya hanya bersyukur bahwa ternyata semuanya berjalan lancar dan saya masih bisa bernafas sampai hari ini.
Saya hendak bertanya kepada tetangga saya tentang segala yang terjadi seminggu ini tapi pintu kembali dibuka. Dokter yang selama ini merawat Grace masuk. Ia ternyata tidak sendirian.
“Sheila, apa kabar?” lelaki yang bersama dokter itu menyapa seakan mengenal saya dengan baik. Dokter itu tersenyum ramah. Tetapi senyum itu membuat saya terdiam. Grace tak memberi reaksi. Ia hanya diam, memandang dengan bingung, seperti juga tetangga saya itu. Saya merasa seperti ingin berteriak kencang tetapi saya tak bisa apa-apa. Saya masih terlalu lemah untuk melakukan itu.
“Saya hanya ingin mengantarkan Damian bertemu kamu dan Grace, Sheila,” ujar sang dokter, “ia suami dari wanita yang sudah kamu bantu itu.”
Saya tak bisa berkata apapun. Hanya diam. Ada amarah dan airmata yang ingin tumpah bersamaan. Sang dokter langsung berlalu dari hadapan kami. Saya memberi tanda supaya tetangga saya membawa Grace keluar dari ruangan itu. Grace menurut. Ia sepertinya tahu apa yang sedang terjadi.
“Apa kabarmu?” lelaki itu kembali bertanya. Ia tersenyum. Masih dengan senyum yang sama. Senyum yang pernah membuat saya jatuh ke dalam pelukannya.
Saya hanya diam.
“Terima kasih. Kamu sudah mendonorkan separuh hatimu untuk menyelamatkan istri saya. Kamu seorang perempuan yang sangat baik, Sheila. Saya tak tahu harus berterima kasih dengan cara apa. Saya tidak menduga bahwa ternyata orang yang bersedia mendonorkan hati itu adalah kamu. Perempuan yang selalu saya rindukan bertahun-tahun. Saya....,” lelaki itu terdiam karena saya memotong pembicaraannya.
“Damian, “saya berujar tertahan dan mulai terisak. Hari ini saya kembali menyapa nama yang ingin saya lupakan seumur hidup saya.
“Saya menjual hati saya. Apakah bayaran saya sudah ditransfer ke rekening saya?” saya lalu terdiam tanpa suara. Saya berusaha tegar.
Lelaki itu memandangi saya. Masih dengan tatapan yang sama.
“Sheila. Saya menanyakan kabarmu. Saya ingin tahu ceritamu bertahun-tahun ini. Saya merindukanmu,” ujarnya menghindari pembicaraan saya tadi.
“Bagaimana kabar istrimu?” saya menyahut.
Hening.
“Dia baik-baik saja. Berkat kerelaanmu mendonorkan hatimu,” jawabnya.
“Saya tidak pernah merelakan hati saya itu,” saya lalu bangun dari tidur saya. Duduk di tempat tidur yang sekarang terasa sangat menyakitkan, “saya menjual hati saya. Tahukah kamu? Saya menjual hati saya. Saya memberikan separuh hati saya karena saya dibayar untuk itu, Damian.”
Hening.
“Bagaimana? Sudah kamu transfer uang saya, Damian?” saya bertanya lagi.
“Apakah bisa kita tidak membicarakan soal itu?” ia balik bertanya.
“Apa yang harus kita bicarakan? Saya butuh uang. Saya butuh uang untuk anak saya yang harus dioperasi. Karena itulah saya menjual separuh hati saya. Akhirnya, kamu bisa membuat hati saya punya harga, Damian. Terima kasih,”saya mulai berjuang menahan amarah saya. Sepertinya ini terlalu menyakitkan.
“Maafkan saya, Sheila,” ia masih berujar, “saya tetap merindukanmu meski sekarang saya bukan milikmu.”
Saya tertawa.
“Saya bukan anak kecil, Damian. Saya bukan seorang gadis bodoh yang lima tahun lalu bersedia bersetubuh denganmu lalu ditinggalkan hanya karena melahrikan seorang anak dengan kekurangan yang begitu menyedihkan,”saya ingin sekali berteriak.
“Saya tak pernah bermaksud seperti itu, Sheila,” ia masih bersikeras.
“Tak bermaksud begitu?” saya bertanya tegas, “sudahlah. Kembalilah ke ruangan istrimu. Jangan buat hatinya jadi tak berharga seperti yang sudah kamu lakukan kepada saya. Lima tahun setelah kepergianmu baru saya tahu, ternyata hati saya berharga cukup mahal untuk seorang lelaki yang sedang bingung bagaimana menyelamatkan istrinya. Tinggalkan saya sekarang, atau saya berteriak memanggil petugas keamanan karena kamu mengganggu kenyamanan saya?”
Hening. Ia tertunduk.
“Tapi saya merindukanmu, Sheila,”ujarnya.
“Di mana rindu itu lima tahun ini? Saya hanya butuh rindu yang pernah kamu katakan saat memberitahu saya bahwa kamu akan menikah. Saya butuh rindu itu, dan bukan kamu. Saya tak membutuhkanmu. Tolong, tinggalkan saya.”
“Maafkan saya,”ia masih mengulang kata yang sama.
“Pergilah. Terima kasih sudah membuat hati saya berharga meski dengan cara ini. Salam hangat untuk istrimu, semoga dia baik-baik saja dengan separuh hati saya itu.”
Saya membalikan badan. Tidak ingin memandanginya lagi. Terdengar langkah menjauh. Lalu suara pintu dibuka.
“Mamamamamammmm,” Grace sudah meraih saya kembali dalam pelukannya. Ia tahu saya menangis.
“Mama baik-baik saja, Sayang,” lalu saya memeluk Grace dengan peluk rindu yang lebih dalam dari apapun. Saya, perempuan penjual hati.

__sekian__









Komentar

Postingan populer dari blog ini

KINI KAMI BERDOA DI ATAS TANAH INI (Sebuah asal omong)

SUMENEP DAN CERITA KETIKA HUJAN JATUH LAGI (Sebuah Asal Omong)

SEJENAK MENDOAKAN MEREKA YANG TERLUPAKAN (Sebuah catatan sederhana tentang para ODHA)