MATA-MATA MATA MATA


                  Teriakan-teriakan membahana. Memecah kesunyian malam, membelah kepekatan malam. Amarah menyatu di antara teriakan-teriakan itu. Suasana sedang panas padahal seharusnya di tengah kepekatan malam seperti ini terasa dingin. Daerah ini memang daerah dingin, tapi malam ini berubah panas, sangat panas.
                  Manusia-manusia itu bergerak dengan obor di tangan kiri dan parang di tangan kanan. Mereka menarik lima orang manusia yang menyedihkan sekali nasibnya; terikat seperti seekor babi digiring ke tempat pembantaian. Di mata mereka ada kesedihan mendalam bercampur ketakutan yang mengerikan. Wajah-wajah para penyeret mereka penuh amarah. Wajah mereka merah menyala, nyaris seperti obor yang menyala di tangan mereka.
                  “Pak Kepala Desa!” teriakan beberapa orang menggema mengejutkan sang kepala desa yang sedang terlelap. Ia lekas keluar dari rumahnya dan terkejut ketika melihat lima manusia yang sudah lebih layak disebut binatang.
                  “A…ada apa ini?” tanya sang kepala desa heran. Istrinya juga sudah berdiri di sampingnya. Semua manusia yang dating itu terdiam.
                  “Pak Kepala Desa…mereka ini mata mata,” salah seorang menyahut memberi jawaban kepada kepala desa.
                  “Apa maksudnya?” ia balik bertanya.
                  “Mereka ini orang-orang yang diutus oleh kelompok yang beberapa waktu lalu ingin mengambil paksa tanah kita.”
                  Hening.
                  Sang kepala desa seperti sedang berpikir.
                  “Pak Kepala Desa…mengapa Anda diam?” satu bentakan dalam nada pertanyaan mengejutkan kepala desa.
                  “Ya…ya…ya…saya ingat. Mereka…tapi bagaimana kalian semua tahu kalau mereka ini utusan kelompok itu?” ia balik bertanya.
                  “Begini, Pak. Sejak siang tadi ketika mereka mendatangi desa kita, mereka langsung menuju tanah yang diincar itu, mengamatinya, membuat catatan, lalu pergi ke pemilik tanah itu. Mereka sepertinya memaksakan kehendak,Pak.”
                  “Tapi, kan belum tentu mereka ini mata mata kelompok itu…”
                  “Pak, hanya mereka yang mengincar tanah itu. Tidak pernah ada kelompok lain atau orang lain yang menginginkan tanah itu. Kalau kita diam saja, mereka akan mendapatkan tanah itu dan kita akan mulai hidup dalam sebuah zaman yang menakutkan. Mereka akan mulai beraksi dengan alat-alat pertambangan mereka, mereka akan melakukan pengeboran gas tanpa henti dan tentu saja lingkungan kita lama-kelamaan akan rusak. Mereka hanyalah orang-orang tak bertanggungjawab, Pak”
                  “Tunggu!” sang kepala desa turun dari teras rumahnya. Suasana mulai gaduh lagi. Kelima orang itu masih terdiam menahan sakit. Darah masih mengalir dari tubuh mereka yang terluka.
                  “Hei! Kalian sebenarnya siapa? Suruhan siapa? Mau apa datang dan mengamati tanah itu? Tolong jawab dengan jujur!” sang kepala desa bertanya penuh wibawa. Mereka saling pandang.
                  “Kami ini utusan. Kami tak tahu apa-apa. Kami hanya ditugaskan untuk mengamati tanah itu. Kami bahkan ti..tidak tahu tujuan orang yang mengutus kami. Ia…ia juga tak begitu kami kenal…”
                  “Mereka mata mata!” teriakan membahana warga serentak terdengar.
                  “Tenang!” kepala desa balas berteriak. Mereka semua hening kembali,” kalian mau saja disuruh orang yang tak jelas? Bodoh! Itu tidak mungkin. Kami memang orang desa tapi kami tak bisa dibodohi dengan kata-kata yang diucapkan nyaris tanpa dasar seperti itu.”
                  “Be…betul, Pak. Kami berlima tak tahu apa-apa,” satu di antara kelima orang itu berujar memelas.
                  “Apa betul itu?” tanya sang kepala desa kepada empat orang yang lain. Mereka mengangguk perlahan.
                  Sang kepala desa bangun dan memandangi warganya yang mulai kelihatan tidak sabar. Mereka seperti mau melahap lima orang yang nyaris tak berdaya itu.
                  “Begini! Malam ini juga kita bawa kelima orang yang kalian anggap mata mata ini ke kantor polisi. Biar…”
                  “Tidak perlu!” teriak warganya,” mereka harus langsung dihabisi saja. Kalau mereka dibawa ke kantor polisi, mereka akan lebih mudah lolos. Polisi-polisi itu pasti membebaskan mereka karena takut pada kelompok pengutus mata mata ini.”
                  Warga yang lain mengangguk setuju.
                  “Tapi, bukankah kita tak boleh main hakim sendiri? Kalau kita melawan tentu…”
                  “Ah peduli setan, Pak!” salah seorang warga maju sambil mengacung-acungkan parangnya,” mereka harus mati. Kita bukan main hakim sendiri. Kita hanya ingin supaya mereka ini tidak membuat kehidupan desa ini kelak penuh kesengsaraan. Anak-anak kita tak boleh menderita kelak.”
                  “Begini ya. Saya sangat tidak setuju. Mereka ini manusia sama seperti kita.”
                  “Tidak, Pak! Mereka bukan manusia kalau mereka bekerja untuk kelompok itu!”
                  “Ma…Maafkan kami. Kami…,” salah satu dari kelima orang itu berbicara.
                  “Diam anjing! Kami tidak butuh permohonan maaf. Satu saja hal yang kami tahu yakni kalian membantu konglomerat itu. Kalian mata mata kelompok yang mau menghancurkan hidup kami!”
                  Hening.
                  Sang kepala desa memandang berkeliling meminta dukungan. Sayang, semua warga yang datang tak berpihak padanya. Mereka tak menyetujui usulannya tadi. Ia berbalik hendak meminta pendapat isterinya tapi rupanya sang isteri sudah masuk kembali ke dalam rumah. Kelima orang itu memandangnya penuh harap.
                  “Bawa mereka ke kantor polisi!” sang kepala desa berujar.
                  “Tidak!” sahutan nyaris serentak terdengar. Suara-suara gaduh mulai lagi,” bunuh mereka!”
                  “Sekali lagi saya katakan, bawa mereka ke kantor polisi!”
                  “Tidak!” sebuah suara lebih keras berteriak diikuti paduan suara yang membahana terdengar. Seorang meloncat dari kerumunan dan menodongkan parang ke leher kepala desa. Semua hening.
                  “Pak Kepala Desa…Anda bisa kami buat menjadi seperti mereka berlima ini. Tapi…kami tahu Anda pemimpin kami. Kami cuma mau sesuatu yang tegas. Mereka harus mati supaya tak ada laporan hasil pengamatan kepada pimpinan kelompok yang mengutus mereka,” orang yang menodongkan parang itu berbicara.
                  “Baik, baik. Saya paham. Tapi, ini tidak akan menyelesaikan masalah,” sang kepala desa masih juga tetap pada pendiriannya.
                  “Pak, anak cucu kita juga pasti membutuhkan alam yang masih nyaman seperti sekarang ini. Apakah Bapak mau tanah di desa ini diambil lalu dibangun kawasan yang mengerikan?” tanya sang penodong.
                  “Tentu saja tidak!”
                  “Nah, kalau begitu…,” orang itu tak bisa melanjutkan kata-katanya karena dipotong seorang warga lain yang muncul dari kerumunan.
                  “Buat saja mereka jadi buta!”
                  “Betul! Betul!” sambung yang lain.
                  “Mata mereka yang membuat mereka menjadi mata mata!”
                  Hening.
                  Sosok yang tadi menodongkan parang kepada kepala desa langsung mendorong sang kepala desa sampai terduduk.
                  “Pak, Anda tak boleh melakukan apa-apa atau nyawa Anda kami lenyapkan!” sosok itu berujar tegas disambut teriakan warga yang lain,” buat mereka buta! Cungkil biji mata mereka lalu kita kirim mereka kembali kepada pengutus mereka! Ayo!”
                  Lima orang itu berteriak-teriak memilukan ketika satu per satu biji mata mereka dikeluarkan. Darah mengucur membasahi wajah mereka tapi itu tak dipedulikan para pencungkil. Kesepuluh biji mata itu dikumpulkan di hadapan sang kepala desa yang tak bisa melakukan apa-apa. Kelima orang itu masih meringis, meronta-ronta tanpa mata. Mereka tak bisa melihat lagi.
                  “Sekarang saya harapkan kalian kirimkan mereka kembali!” perintah kepala desa. Ia masih ngeri menyeksikan sepuluh biji mata di hadapannya.
                  Seluruh warga desa langsung berebutan menyeret kelima orang itu. Ada yang masih menendang dan memukul. Mereka menaikkan kelima orang itu ke atas sebuah truk yang kebetulan ada di situ. Sang pengemudi yang tak tahu apa-apa itu terpaksa menghidupkan mesin truknya kemudian berlalu bersama beberapa orang warga dan manusia-manusia tanpa mata. Tertinggal hanya keheningan. Semua warga yang tersisa langsung pulang…termasuk yang menodong kepala desa tadi.
                  “Pak, mata-mata mata mata ini tanggungjawab Bapak. Saya permisi,” ia langsung beranjak meninggalkan kepala desa.
                  Sang kepala desa tertunduk lesu memandangi mata-mata yang tergeletak di hadapannya. Ia ingin menangis. Sedih ia memandangi mata-mata yang tak bertuan lagi. Kelihatannya mata-mata itu menyimpan amarah. Mereka marah besar. Ia lalu memanggil isterinya.
                  “A…ada apa, Pak,”begitulah isterinya biasa memanggil dia. Nampak sekali kecemasan di wajah sang isteri.
                  “Bu, coba lihat sepuluh mata ini! Mereka marah besar pada kita. Mereka sudah tak punya tuan lagi. Mereka pasti sangat kecewa karena semua tindakan yang kita lakukan. Kita…”
                  “Pak, bukan Bapak yang bersalah. Bapak sudah melakukan sesuatu yang benar. Wargalah yang bersalah. Itu keinginan mereka,” isterinya berujar lembut.
                  “Bu, aku ini pemimpin di sini. Semuanya salahku. Dan…aku memang tidak setuju dari awal mengenai tanah yang mau dibeli para konglomerat itu. Aku tak mau alam kampung kita ini berantakan. Selama ini hidup kita sudah sangat bahagia hidup dari alam yang asri seperti ini. Tapi…tapi aku juga tak setuju mereka mencungkil biji mata kelima orang itu. Mereka kan hanya utusan…”
                  “Pak,” panggil isterinya lembut,” semua itu tak perlu dipikirkan lagi. Sekarang aku hanya khawatir jangan sampai utusan lain akan datang dan membalas kekejaman warga tadi.”
                  Sang kepala desa menarik nafas berat.
                  “Bu, malam ini juga akan kuantar kamu ke rumah ayah dan ibu. Untuk sementara kamu tinggal di sana.”
                  “Tidak, Pak! Aku tak akan meninggalkanmu sendirian di sini. Aku…”
                  “Ibuku sayang, isteriku yang kucinta,” ujarnya perlahan,” aku tak mau kamu mengalami sesuatu yang buruk di sini. Keadaan sedang tak bersahabat. Sekalian kamu simpan mata-mata ini di sana karena aku yakin mata-mata ini tahu apa yang telah dilakukan warga.”
                  Hening.
                  Malam semakin pekat.
                  Sunyi.
                  “Baiklah…” ujar isterinya lalu berlari ke dalam rumah dan mengambil sebuah kantong plastik hitam. Ia kembali lagi kepada suaminya lalu mulai memungut sepuluh biji mata yang berdarah. Darahnya sudah mulai mengental; akh…tapi tak ada sedikitpun rasa jijik. Semua mata itu harus disembunyikan. Sang kepala desa mengambil sepeda motor miliknya dan keheningan kembali tercipta ketika sepasang suami isteri itu membelah keremangan. Mereka tetap punya satu kemauan yang sama; tak mau tanah itu diambil. Mereka tak mau ada tambang di desa mereka. Itu hanya akan merusak alam.
                  Di balik kegelapan ada sepasang mata yang sedang mengamati kepergian mereka. Mungkin itu juga mata mata. Setelah deru motor menghilang, sepasang mata itu pun menghilang; entah ke mana. Mungkin mata mata itu hendak mencari mata-mata yang dicungkil dari sahabat-sahabatnya, sesama mata mata. He…he…he…ia tak akan memperolehnya karena isteri sang kepala desa sudah membawa pergi sepuluh biji mata itu.
Flores, ketika hujan lupa jatuh ke bumi...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

KINI KAMI BERDOA DI ATAS TANAH INI (Sebuah asal omong)

SUMENEP DAN CERITA KETIKA HUJAN JATUH LAGI (Sebuah Asal Omong)

SEJENAK MENDOAKAN MEREKA YANG TERLUPAKAN (Sebuah catatan sederhana tentang para ODHA)