ESOK PURNAMA (Malam Terakhir Ine Embu)[*]
SET:
ruang tidur-satu tempat tidur-lampu minim-ada pelita
(seorang perempuan terlihat tidur melingkar di
atasnya, dengan nafas terengah, ketakutan, instrumen halus sekali, di tengah
lalu perempuan itu terdengar terisak)
PEREMPUAN:
(Setelah beberapa saat terisak)
Esok purnama (berulang-ulang sampai dirasa cukup kali
lalu hening serentak, musik juga mati, hanya nafas terengah)...esok purnama dan
saya tahu esok hari yang selama ini mereka tunggu.
(bangun dari tidur dan duduk memeluk lutut)
Esok purnama dan saya tahu esok hari yang selama ini
mereka tunggu.
(kepada penonton)
Saya tak pernah menunggunya. Mereka yang selalu
menunggu hari itu. saya tahu mereka menunggu. Menunggu hari itu. Setiap hari
sejak dua tahun yang lalu mereka membicarakan itu. Sembunyi-sembunyi supaya
saya tak tahu (lalu tersenyum dan tertawa). Tapi saya selalu tahu apa yang
mereka bicarakan. Mereka suka mengulang pembicaraan yang sama. Selalu. Dan saya
juga selalu tahu apa yang mereka bicarakan itu. Yang sama. Dan selalu sama,
sejak dua tahun yang lalu, waktu mereka mendengar saya sudah menjadi wanita
seutuhnya. Ah,,,,
(maju ke depan, mundur lalu tertidur lagi di atas tempat tidur. Gelisah. Bangun dan du
(maju ke depan, mundur lalu tertidur lagi di atas tempat tidur. Gelisah. Bangun dan du
duk kembali)
Kalau kau pernah takut mati, saya pernah. Tapi itu
dulu sekali. Waktu saya masih enam tahun. Pasti orang bertanya-tanya mengapa
saya takut mati. Yah, saya tahu orang pasti bertanya-tanya karena saya
dilahirkan di sebuah negeri yang selalu penuh dengan kata dan kalimat yang
ditutup dengan tanda tanya.(hening sejenak) Saya pernah takut mati karena
melihat seekor anjing yang dibantai, lalu dibakar, dan kemudian dagingnya
disantap beramai-ramai. Anjing itu seekor anjing betina. orang-orang di kampung
ini membantai anjing betina, dan semuanya betina untuk disantap dagingnya.
Aneh. Para jantan dibiarkan hidup, tetapi mereka kehilangan zakar mereka.
Katanya supaya bertumbuh semakin perkasa untuk dijadikan pemburu. Saya
membayangkan, kalau suatu waktu anjing betina itu sudah tidak ada lagi,
jangan-jangan saya juga akan dibantai seperti para anjing itu. Karena saya
perempuan, dan mereka laki-laki perkasa. (berbisik) Saya pernah membayangkan
jangan sampai para lelaki itu sudah dikebiri karena mereka sangat perkasa seperti
para anjing pemburu itu. (Bersuara normal lagi) Kalau saya anjing, saya adalah
betina. Kalau anjing-anjing yang dibantai itu manusia, mereka adalah perempuan.
(Tertawa keras) Tapi itu dulu. Saya dulu pernah takut mati.Karena alasan yang
sesepele itu. Saya mengira anjing dan manusia adalah dua sosok yang saling
mengandaikan. Seandainya tidak menjadi manusia, pasti jadi anjing. Seandainya
tidak menjadi anjing, pasti jadi manusia.
(tiba-tiba terdengar suara anjing melolong. Suasana
mencekam dan menakutkan. Perempuan kemudian membanting diri di tempat tidur,
terisak lagi seperti awal).
Esok purnama. Esok purnama dan saya tahu esok adalah
hari yang mereka tunggu. Para anjing sudah melolong. Ahhh,,,,esok purnama. Saya
pernah takut mati. Tapi saya juga pernah tak takut mati.
(terisak lagi, gambarkan sangat takut pada sesuatu.
Gelisah, bangun lalu tidur lagi, beberapa kali)
Saya takut,,, sekarang saya takut lagi. Ibu....
(berteriak sambil terisak) Saya takut mati. Saya takut mati. Mati, dan bukan
meninggal atau wafat bahkan mangkat. Saya takut mati. Mati seperti
anjing-anjing betina bertahun-tahun silam itu. Ibu tahu, saya bukan anjing. Ibu
melahirkan saya sebagai perempuan kan, Bu?
(hening lagi).
Esok purnama(kembali duduk memeluk lutut, lalu
berdiri berkata kepada penonton) esok purnama dan saya tahu kematian saya sudah
dekat. (duduk kembali di bawah tempat tidur).
Saya tahu, dan selalu tahu mereka membicarakan
tentang kematian saya. Mereka akan membuat saya mati. Mereka akan menumpahkan
darah saya, memberi makan pada pertiwi yang murka. Mereka akan mencincang
daging dan belulang saya, memberi makan pada bumi yang penuh amarah. Mereka
membuat saya mati, supaya semesta mengambil kembali bencana ini, supaya semesta
mencintai mereka lagi.
(berteriak keras) Tapi, mengapa harus saya? Mengapa
harus saya? Mengapa?
(lolongan anjing semakin mengerikan)
Mereka kelaparan, mereka kehausan, mereka
kekeringan; tapi mereka menganggap hanya mereka yang begitu dan saya tidak. Saya
harus mati untuk mereka. Saya harus mati supaya kematian saya menghidupkan
mereka.
(Terpekur di lantai, terisak lalu tertawa panjang)
Mereka kira saya anjing betina yang tak berguna?
Mereka, para lelaki yang setiap hari membicarakan saya, tak tahukah mereka dari
mana mereka berasal? (hening)...saya akan mati, esok purnama dan saya akan
mati. Saya akan mati di tangan saudara saya sendiri. Saya akan mati di tangan
seorang yang lahir dari rahim yang sama dengan saya. Tapi saya bukan perempuan
kalah karena saya mati. Saya bukan betina pecundang karena saya kehilangan
nyawa. Saya mati supaya mereka hidup. (Perlahan)Saya mati di negeri kerontang
ini, saya mati di tanah tandus ini. Tapi saya tidak kalah. (Teriak) saya tidak
kalah.
(suara lelaki dari latar belakang dengan gedoran di
pintu: Ine...berulangkali lalu hening saat instrumen lembut)
PEREMPUAN:
[†]nara... ele kau
pali-pali mawe roa labi
ele kau welu-welu mawe roa wela
ele kau ndota ngere ndota mbonga
ele kau ndai ngere ndai pari
ele kau sisa ngere sisa ika
ta ghele roa ……(nara)
ghele leka sao ria tenda bewa
ghele leka tangi sea leke sere
ghele leka embu welu kajo pa’a
ele kau welu-welu mawe roa wela
ele kau ndota ngere ndota mbonga
ele kau ndai ngere ndai pari
ele kau sisa ngere sisa ika
ta ghele roa ……(nara)
ghele leka sao ria tenda bewa
ghele leka tangi sea leke sere
ghele leka embu welu kajo pa’a
leka kuwu leka jebu
leka tenda ine eo jila ngere nenu sina
ghele leka tangi baba eo masa ngere pingga bha
aku ta’u ra neku loka leka tana ongga
geto ola mesu leka watu embu
Saudara, meski parangmu siap di asa, namun
jangan dulu bunuh
Walau tajam, namun jangan dulu belah,
Akan kau cincang aku bagai ketam,
Kau iris bagai ikan pari
Namun, sabarlah sampai ditempat sana
Dirumah gadang dan balai agung,
Ditopang, ditunjang tiang raja
Ditempat pusaka nenek moyang
Walaupun hanya pondok dan sarang
Justru inilah balai ibunda yang mengkilap bagai cermin
Di sana, tangga ayah bening sebagai pinggan
Aku cemas darahku mencecer di tempat haram
Dagingku berjatuhan di nisan leluhur
Walau tajam, namun jangan dulu belah,
Akan kau cincang aku bagai ketam,
Kau iris bagai ikan pari
Namun, sabarlah sampai ditempat sana
Dirumah gadang dan balai agung,
Ditopang, ditunjang tiang raja
Ditempat pusaka nenek moyang
Walaupun hanya pondok dan sarang
Justru inilah balai ibunda yang mengkilap bagai cermin
Di sana, tangga ayah bening sebagai pinggan
Aku cemas darahku mencecer di tempat haram
Dagingku berjatuhan di nisan leluhur
(lalu hening,
ia mengulang lagi esok purnama tiga kali lalu lampu panggung mati)
SELESAI
[*] Kita tak pernah tahu kisah yang pasti
tentang Ine Pare atau Ine Embu. Saya menulis monolog ini secara berbeda dalam
sebuah pola tersendiri dengan berusaha sedapat mungkin tidak melangkah jauh
dari salah satu versi dari sekian banyak versi kisah asal muasal padi dalam
mitologi orang Flores (Ende-Lio). Naskah ini senantiasa terbuka untuk koreksi
dan catatan lebih jauh.
[†] Syair ini
saya kutip dari http://www.marlin-bato.com/2013/10/ngalu-ndori-terminus-quo-dewi-padi.html. Terjemahannya ada di dalam site
bersangkutan. Ini merupakan syair ungkapan Ine Mbu ketika akan dibunuh oleh
saudaranya, Ndale.
Komentar
Posting Komentar